Waduh! Bansos Hingga Imparsialitas Presiden Lalu Muncul Saran Nyoblos Lagi?
Selasa, 23 April 2024 21:05
Reporter : Ekadyana N. Fauzi
Ilustrasi Dissenting Opinion Putusan Sengketa Pilpres/TimDigo.id
Jakarta, DigoID-MK ngumumin hasil sidang PHPU Pilpres 2024 di Senin, 22 April 2024. Sidangnya panjang banget, lebih dari enam jam. Nah, MK nyatain Prabowo-Gibran jadi presiden dan wakil presiden terpilih buat periode 2024-2029. Anies-Muhaimin sama Ganjar-Mahfud gugatannya ditolak semua.
PHPU pilpres diputuskan oleh MK berdasarkan dua gugatan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 1/PHPU.PRES-XXII/2024 untuk Anies-Muhaimin, dan Nomor Perkara 2/PHPU.PRES-XXII/2024 untuk Ganjar-Mahfud.
Gugatan mereka dua, satu buat Anies-Muhaimin sama satu lagi buat Ganjar-Mahfud. Mereka minta MK batalin keputusan KPU tentang hasil pilpres yang menetapkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang.
Pas sidang, Anies-Muhaimin sama Ganjar-Mahfud dateng langsung, tapi Prabowo-Gibran enggak. Sidangnya dihadiri delapan hakim MK dan dipimpin oleh hakim Suhartoyo. Tapi, ada tiga hakim yang beda pendapat, bro. Mereka minta ada pemungutan suara ulang di beberapa daerah karena ada ketidaknetralan aparat dan politisasi bansos.
“Demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah,” kata Saldi Isra membacakan dissenting opinion.
Ini jadi sorotan publik, loh. Ganjar sampe bilang, ini sejarah buat proses PHPU Pilpres di MK. Dan Bambang, kuasa hukum Anies-Muhaimin, bilang ini hal luar biasa, nih. Jadi, MK lagi bikin sejarah peradaban demokrasi di Indonesia, bro.
Adanya Politisasi Bansos
Saldi Isra bilang soal politisasi bansos. Dia ngerasa kayak ada campur tangan politik dalam pembagian bansos dan mobilisasi aparat negara. Ini dia nyimpulin dari keterangan semua pihak, fakta di persidangan, dan bukti yang ada.
Dia merasa, mungkin ada hal-hal yang disamarkan sama Presiden antara urusan negara sama urusan pribadi. Tapi dia bilang, nggak ada aturan pasti buat ngebilang itu salah atau bener. Tapi sebagai hakim, dia harus liat jelas soal pembagian bansos yang rame banget menjelang pemilu.Dia juga protes soal menteri yang terlibat langsung dalam kampanye. Dia ngerasa aneh kok Menteri Sosial, Tri Rismaharini, nggak ikutan dalam pembagian bansos. Menurut dia, menteri seharusnya nggak ada pesan khusus dalam pembagian bansos.
“Terdapat kampanye terselubung dalam kegiatan pembagian bansos,” ujar Saldi.
Netralitas ASN dan Kepala Daerah
Saldi Isra bacain disenting opinion ngomongin soal netralitas ASN sama kepala daerah. Dia bilang, perlu ada pemilihan ulang karena ada keterlibatan ASN dan penyelenggara negara yang nggak netral. Meskipun Bawaslu udah ngelakuin penyelidikan, tapi menurut dia, kerjaan Bawaslu belum maksimal.
“Bawaslu tidak memberitahukan kekuranglengkapan persyaratan dimaksud. Hal demikian sebenarnya dapat dipandang sebagai cara Bawaslu menghindar untuk memeriksa substansi laporan yang berkenaan dengan pelanggaran pemilu,” ujar Saldi.
Dia yakin, sebagian Pejabat Kepala Daerah dan aparatnya ada yang nggak netral, yang bikin pemilu jadi nggak jujur dan adil. Menurut dia, itu semua bikin pemilu jadi nggak integritas.
“Dengan demikian, dalil Pemohon a quo beralasan menurut hukum,” ujar Saldi
Terus, Enny Nurbaningsih juga berpendapat, dia juga setuju soal alasan hukum Pemohon. Dia liat ada ketidaknetralan pejabat di beberapa daerah yang nggak netral pas ngasih bansos.
Dia sebut ada empat daerah yang punya indikasi kuat ketidaknetralan Pejabat Kepala Daerah, termasuk soal ketidaknetralan aparat negara yang belum ditindaklanjuti dengan maksimal sama Bawaslu dan pihak berwenang. Daerahnya Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, sama Sumatera Utara.
“Maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah tersebut,” ujar Enny.
Pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Masif
Nah, Arief Hidayat juga punya pendapatnya sendiri. Dia bilang, seharusnya MK suruh KPU RI bikin PSU di beberapa daerah pemilihan, kayak DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, sama Sumatera Utara. Menurut dia, ada pelanggaran yang serius, yang disebut TSM, alias terstruktur, sistematis, dan masif.
Dia juga nyorot soal politisasi perlindungan sosial dan bansos. Arief juga setuju sama Saldi dan Enny soal ada arahan ke aparat pemerintahan buat nyelenggarain Pilpres 2024.
“Sehingga hal ini telah mencederai konstitusionalitas dan prinsip keadilan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” demikian bunyi salah satu bagian dissenting opinion dari Arief.
Profesionalitas Bawaslu dan Imparsialitas Presiden
Arief punya lebih banyak lagi yang dia mau sampaikan. Dia bilang MK sebaiknya suruh Bawaslu RI pantau pemungutan suara ulang. Dia juga minta Polri sama TNI jaga keamanan dan netralitas dalam proses pemungutan suara ulang.
Dia tambahin lagi, MK juga seharusnya putusin buat suruh Presiden RI bersikap netral dalam pemungutan suara ulang; dan larang pembagian bansos sebelum dan saat pemungutan suara ulang.
Masalah dukungan dari presiden dalam pilpres juga dibahas, nih. Hakim MK Ridwan Mansyur bilang endorsement dari presiden atau wakil presiden dalam kontestasi Pemilihan Presiden nggak melanggar hukum. Tapi, dia bilang itu bisa jadi masalah etika.
"Namun, endorsement atau pelekatan citra diri demikian, sebagai bagian dari teknik komunikasi persuasif, potensial menjadi masalah etika manakala dilakukan oleh seorang presiden yang notabene dirinya mewakili entitas negara," kata Ridwan.
MK bilang, Presiden harus punya kesediaan buat nahan diri dari tampil di muka umum yang bisa diasosiasikan sebagai dukungan buat salah satu kandidat. Ini penting buat jaga kualitas demokrasi di Indonesia.
"Menurut mahkamah, mutlak diperlukan kerelaan presiden petahana untuk menahan atau membatasi diri dari penampilan di muka umum yang dapat diasosiasikan atau dipersepsikan oleh masyarakat sebagai dukungan bagi salah satu kandidat atau paslon dalam pemilu," kata Ridwan.
Ridwan bilang, walaupun kesediaan Presiden sama petahana kepala daerah itu penting buat demokrasi, tapi itu masalah moral, etika, dan aturan agama. Jadi, MK nggak bisa sanksiin soal etika kecuali udah jadi norma hukum larangan.