Tim Peneliti UGM dan Jepang Sosialisasikan Mitigasi Bencana Erupsi Gunung Agung
Jumat, 17 Februari 2023 06:07
Reporter : Nadiana Tsamratul Fuadah
Sosialisasi kesiapsiagaan dan mitigasi bencana ini merupakan bagian dari kegiatan dalam Proyek Astungkara Giri Agung Aman (AGAA). (Dok. UGM)
BANDUNG — Tim peneliti Kegunungapian Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama peneliti dari Mount Fuji Research Institute, Jepang, melakukan sosialisasi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana Gunung Agung di Kantor Desa Besakih, Karangasem, Provinsi Bali pada 11 Februari lalu.
Sosialisasi kesiapsiagaan dan mitigasi bencana ini merupakan bagian dari kegiatan dalam Proyek Astungkara Giri Agung Aman (AGAA).
Proyek AGAA ini mendapatkan dana dari Japan International Cooperation Agency (JICA) dalam skema proyek akar rumput (grass root project) yang akan berlangsung hingga awal 2025.
Salah satu anggota tim ahli geofisika sekaligus Dosen di Fakultas MIPA UGM, Dr.rer.nat. Wiwit Suryanto, M.Si., mengatakan dipilihnya Gunung Agung sebagai salah satu bagian dari proyek ini karena pada tahun 2017 gunung ini pernah meletus.
Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, namun kerugian materiel dan juga pariwisata terdampak akibat erupsi gunung Agung di Bali tersebut.
Menurutnya, yang perlu ditekankan adalah pentingnya kesiapsiagaan sejak dini.
“Yang ditekankan adalah pentingnya kesiapsiagaan bencana erupsi gunung api ditanamkan sejak dini untuk siswa sekolah dasar dengan pendidikan kebencanaan gunung api dengan pendekatan sains dan teknologi,” kata Wiwit pada Rabu, 15 Februari 2023.
Untuk melakukan kegiatan mitigasi selama dua tahun ke depan ini, pihaknya melibatkan Mount Fuji Research Institute di Provinsi Yamanashi dan LSM NPO Volcano di Tokyo.
Selain itu, ada Fakultas Pariwisata di Udayana menjadi partner untuk kelangsungan kegiatan, melanjutkan edukasi setelah project ini berakhir.
Project ini berlangsung selama tiga tahun dan menghabiskan 54 Juta Yen.
“Project selama 3 tahun sebesar 54 Juta Yen nantinya digunakan untuk mengirim stake holder dan guru-guru di Bali untuk belajar mitigasi bencana gunungapi ke Jepang,” kata Wiwit.
Di Jepang, kata Wiwit, pemerintah negeri sakura ini sudah memasukkan kurikulum kebencanaan di kurikulum sekolah, dari tingkat dasar, menengah hingga tingkat atas.
Bahkan, pihak-pihak terkait sudah terhubung dengan SOP yang jelas dan semua secara konsisten dijalankan sehingga setiap warga masyarakat sudah bersiap untuk menghadapi bencana.
Tidak hanya itu, buku saku bencana tersedia dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Sementara untuk kasus mitigasi bencana kegunungapian di Indonesia, umumnya karena warga di lereng gunung api mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan peternak.
Sehingga ada yang berbeda dengan di Jepang pada saat terjadi erupsi. Diantaranya adalah upaya pengungsian tidak hanya bagi warga masyarakat tapi juga hewan ternak dan hewan piaraan yang juga harus diungsikan dahulu sebelum mengungsikan warganya.
”Jika tidak, maka pada saat kritis, masyarakat cenderung untuk kembali ke rumah yang berada di zona bahaya untuk memberi makan hewan ternak, sehingga berpotensi menjadi korban karena erupsi gunung api,” kata Wiwit.
Kegiatan mitigasi bencana dari pemerintah Jepang ini menurut Wiwit sudah pernah dilakukan di area gunung Merapi karena merupakan salah satu gunung api paling aktif di Indonesia dan ada kerja sama sister province antara DIY dan Yamanashi dengan kesamaan di Provinsi Yamanashi terdapat Gunung Fuji yang terkenal di Jepang.
Kegiatan tersebut menghasilkan rumusan kegiatan mitigasi kebencanaan yang harapannya dapat masuk di kurikulum mata pelajaran IPA di sekolah dasar, sehingga keberlanjutan dari program edukasi ini dapat diperluas ke gunung api lain di seluruh Indonesia.
Meski masyarakat di sekitar gunung api di Indonesia selalu memiliki kearifan lokal dalam melakukan mitigasi bencana dengan melihat tanda-tanda alam seperti mempercayai perubahan sifat binatang-binatang yang ada di lereng gunung api.
Namun dalam kegiatan ini menggunakan pendekatan edukasi dari sisi sains dan teknologi yang diharapkan dapat memperkuat pemahaman masyarakat.
Terutama meyakinkan masyarakat bahwa teknologi sensor yang berkembang saat ini sudah dapat digunakan untuk mendeteksi aktivitas gunung api.
“Jadi sensor yang zaman dahulu dipercayakan kepada binatang atau tokoh yang memiliki ketajaman batin yang kuat, pada masa modern ini dapat dibantu dengan menggunakan sensor-sensor canggih seperti seismometer untuk deteksi getaran maupun GPS untuk deteksi pergerakan tanah akibat naiknya magma dari dalam gunung api,” tutup Wiwit.