Penerapan “Business Judgement Rule” Pada Direksi Perusahaan
Jumat, 18 November 2022 19:41
Reporter : Siti Ninu Nugraha
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof Isis Ikhwansyah
BANDUNG -- Business Judgemental Rule diterapkan sebagai bentuk perlindungan yang diberikan kepada direksi perusahaan saat melakukan pengambilan keputusan bisnis yang berdasarkan due care dan due diligence.
Hal ini dikatakan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof Isis Ikhwansyah pada saat orasi ilmiah dalam Upacara Pengukuhan dan Orasi Ilmiah Jabatan Guru Besar di Graha Sanusi Hardjadinata Universitas Padjajaran, Kamis, 17 November 2022.
Dilansir laman resmi Universitas Padjajaran, Prof. Isis mengatakan bahwa Business Judgement Rule sudah diangkat dan dijadikan kaidah dalam Undang-undang Perseroan Terbatas atau UU Nomor 20 Tahun 2007 di Indonesia. Terdapat empat hakikat prinsip perlindungan yang diberikan pada direksi perusahaan.
Empat hakikat tersebut adalah apabila ada kerugian timbul bukan karena kesalahannya, pengurusan perseroan dilakukan dengan itikad baik, tidak ada benturan kepentingan dalam pengurusan dan mengakibatkan kerugian, dan yang terakhir adalah direksi telah mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya kerugian. Ia juga memaparkan contoh penerapan Business Judgement Rule pada kasus yang dilakukan direksi Pertamina.
“Keempat unsur tersebut dilakukan oleh direksi dalam rangka mendapatkan perlindungan pada saat memutuskan Business Judgement Rule,” ujar Prof. Isis.
Sebagai contoh, Putusan MA No. 121.K/Pid.sus/2020 memvonis lepas kasus dugaan korupsi atas teedakwa Direktur Utama Pertamina. Para Hakim Agung melihat bahwa apa yang dilakukan terdakwa adalah Business Judgement Rule, jadi apa yang dilakukan Direktur Utama Pertamina bukanlah tindakan pidana.
“Putusan ini sendiri diambil oleh Majelis Hakim MA dengan suara bulat, tidak ada satupun Hakim Agung menyatakan disseting opinion,” lanjutnya.
Upaya perlindungan bagi direksi ternyata bertolak belakang dengan konsep kekayaan yang dipisahkan sebagaimana diatur dalam UU BUMN antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. MA dan MK memiliki pemahaman yang berbeda dalam menilai suatu kasus yang melibatkan direksi perusahaan.
Menurut Prof. Isis, MA berpandangan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN patuh pada UU tentang keuangan negara, sehingga BUMN diharuskan mengelola sumber daya optimal.
Sedangkan pandangan MK adalah badan udaha seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki negara yang berasal dari APBN. Dengan adanya pernyataan dari MK membuat pengelolaan sumber daya BUMN menjadi tidak maksimal.
“Adanya ketidakharmonisan dan ketidakpastian dalam memahami kaidah kekayaan negara yang terpisah pada BUMN persero dalam lapangan hukum bisnis, seyogianya harus diselesaikan secara bersama-sama, bukan hanya oleh MA dan MK saja tetapi oleh para pemerhati hukum bisnis, dan hukum terkait, dan tentunya DPR melalui wakilnya, sehingga tujuan dari penegakan hukum guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat segera terwujud,” tutupnya.