Suara Penolakan Tapera: Baik Buruh dan Pemberi Kerja Sama-sama Terbebani
Rabu, 29 Mei 2024 12:06
Reporter : Tim Digo.id
Ilustrasi KSPSI dan Apindo tolak PP Tapera/Digo.id
Jakarta, DigoID-Para buruh di Jawa Barat kembali dihadapkan pada isu besar yang bikin gerah. Kali ini, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat dengan tegas menolak kebijakan terbaru dari Presiden Joko Widodo tentang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini hanya akan menambah beban para buruh yang sudah berat.
Roy Jinto, Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit (FSP TSK) SPSI, mengeluarkan pernyataan keras melalui keterangan resmi pada Rabu, 29 Mei 2024. "Pimpinan pusat FSP TSK SPSI menyatakan menolak PP 21 Tahun 2024 tentang penyelenggaraan tabungan perumahan rakyat," tegas Roy.
PP Tapera Bikin Tambah Susah Buruh!
Menurut Roy, PP Tapera ini menambah kesulitan para buruh dengan adanya iuran wajib yang dipotong dari upah setiap bulan. "Potongan upah sudah terlalu banyak mulai dari BPJS Kesehatan, Jamsostek hingga jaminan pensiun dan lainnya," jelasnya.
Ia menilai, Tapera hanya merupakan cara pemerintah untuk mengumpulkan dana dari buruh, yang kemudian dikelola oleh Badan Pengelola (BP) Tapera. Yang lebih parah, gaji dan biaya operasional BP Tapera dibebankan dari simpanan rakyat.
Roy juga mengkritik pemerintah yang dianggap tidak sensitif terhadap kondisi rakyat, khususnya buruh. Ia menyebut kenaikan upah buruh yang sangat kecil akibat dari undang-undang cipta kerja, dan kebijakan Tapera ini hanya menambah beban ekonomi buruh. "Harga sembako yang melambung tinggi, dan pajak penghasilan PPH 21, jangan rakyat selalu menjadi korban kebijakan pemerintah," keluh Roy.
Ia juga menegaskan bahwa pihaknya akan meminta pemerintah untuk membatalkan dan mencabut PP tersebut. Jika pemerintah tetap memaksakan, buruh siap melakukan aksi penolakan terhadap Tapera.
Pengusaha Juga Keberatan Sama Tapera
Dari sisi pengusaha, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga ikut bersuara keras menolak kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Apalagi, jika kebijakan tersebut sampai memaksa pekerja swasta menjadi peserta. Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, menegaskan bahwa sejak awal munculnya UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, Apindo sudah dengan tegas keberatan terhadap aturan tersebut.
"Tabungan Perumahan Rakyat, Apindo dengan tegas keberatan diberlakukannya UU tersebut," demikian bunyi pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Shinta dikutip dari CNN Indonesia, Rabu, 29 Mei 2024.
Karena itu, Shinta meminta pemerintah untuk kembali mempertimbangkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera yang baru ditetapkan pada 20 Mei 2024.
Kenapa Gak Manfaatin JHT?
Shinta menyuarakan desakan ini karena menurutnya, Tapera sebenarnya tidak diperlukan. Ia berpendapat bahwa untuk membantu pembiayaan perumahan bagi rakyat, pemerintah sebenarnya bisa memanfaatkan dana potongan BPJS Ketenagakerjaan yang selama ini sudah dipotong dari gaji pekerja. "Pemerintah diharapkan dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan," ujar Shinta.
Ia menjelaskan bahwa ada total aset JHT sebesar Rp460 triliun. Berdasarkan PP Nomor 55 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, aset Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 30 persen dari dana itu bisa dimanfaatkan untuk program MLT (Manfaat Layanan Tambahan) perumahan pekerja. Artinya, 30 persen dari Rp460 triliun mencapai Rp138 triliun.
"Dana MLT yang tersedia sangat besar dan sangat sedikit pemanfaatannya," ungkap Shinta.
Shinta merinci ada empat manfaat JHT untuk perumahan:
-
Pinjaman KPR hingga maksimal Rp500 juta
-
Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMO) hingga Rp150 juta
-
Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP) hingga Rp200 juta
-
Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi (FPPP/KK)
Shinta menambahkan bahwa pemberlakuan Program Tapera justru memberikan beban baru tidak hanya bagi pekerja, tetapi juga pengusaha.
Beban Pemberi Kerja Swasta Makin Berat?
Menurutnya, saat ini beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja mencapai 18,24 persen hingga 19,74 persen dari penghasilan pekerja. Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar. Beban itu akan meningkat kalau Tapera diberlakukan. Selain Tapera, pengusaha juga wajib membayar iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan karyawan.
Berikut rincian beban iuran tersebut:
-
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
-
Jaminan Hari Tua: 3,7 persen
-
Jaminan Kematian: 0,3 persen
-
Jaminan Kecelakaan Kerja: 0,24 persen hingga 1,74 persen
-
Jaminan Pensiun: 2 persen
-
Jaminan Sosial Kesehatan
-
Jaminan Kesehatan: 4 persen
-
Cadangan Pesangon
-
Sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8 persen
Shinta menegaskan, "Pemberlakuan Tapera hanya akan menambah beban pengusaha yang sudah berat. Kami meminta pemerintah untuk mempertimbangkan ulang dan membatalkan PP tersebut."
Sikap tegas Apindo ini menunjukkan bahwa bukan hanya para pekerja yang merasa terbebani oleh Tapera, tetapi juga para pengusaha. Kedua pihak berharap pemerintah bisa menemukan solusi yang lebih adil dan tidak menambah beban ekonomi mereka.