Rencana Revisi UU Penyiaran Bocor, Alarm Tanda Bahaya Bagi Kebebasan Jurnalis Berbunyi!
Selasa, 14 Mei 2024 21:44
Reporter : Ekadyana N. Fauzi
Ilustrasi RUU Penyiaran ancam kebebasan jurnalistik/Digo.id
Jakarta, DigoID-Wah, nih, lagi rame banget nih, Bro! Rencana revisi Undang-Undang Penyiaran, lu denger kan? Nah, itu lagi diobok-obok sama para jurnalis dan pegiat media. Mereka lagi riuh, katanya RUU Penyiaran yang lagi digodok ini bisa ngerongrong kebebasan pers kita, gara-gara ada pasal-pasal yang bikin masalah.
Jadi begini, ada beberapa poin penting dalam draf RUU Penyiaran yang lagi jadi sorotan, terutama soal larangan nayangin konten investigasi jurnalistik eksklusif. Nah, bayangin dong, kan udah jadi rutinitas kita nontonin berita yang sifatnya investigatif, yang menggali fakta-fakta penting yang kadang-kadang nggak disentuh media lain. Nah, pasal ini bikin geger, katanya konten kayak gitu bakal jadi pelanggaran Standar Isi Siaran (SIS) menurut Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) dalam draf RUU tersebut.
Trus, ada lagi masalah soal penyelesaian sengketa jurnalistik antara Dewan Pers sama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Jadi begini, biasanya kan kalo ada sengketa soal pemberitaan, bisa diselesain sama Dewan Pers. Tapi, dengan draf baru ini, penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran justru diserahkan ke KPI sesuai aturan undang-undang, gitu Bro! Trus, katanya lagi di Pasal 51 huruf E, kalo ada sengketa yang hasilnya dari keputusan KPI, bisa diselesaikan lewat pengadilan.
Pandangan Akademisi
Andreas Harsono, salah satu founder Yayasan Pantau yang juga jadi pengajar jurnalisme, punya pandangan yang tajem banget soal jurnalisme investigasi, Bro! Dia ngeyakinin bahwa media yang bagus pasti bakal ngelakuin jurnalisme investigasi dengan serius. Baginya, jurnalisme yang oke punya peran penting buat masyarakat, salah satunya lewat pemberitaan investigasi.
Andreas bilang, masyarakat butuh banget jurnalisme yang oke, dan salah satunya ya jurnalisme investigasi. Buat dia, semakin bagus jurnalisme yang disajikan, makin bagus juga masyarakatnya. Dia bilang, jurnalisme investigasi nggak boleh dicekal, karena kalo dicekal, masyarakat yang rugi, terutama soal dapetin info penting.
“Jadi ia [investigasi jurnalistik] tentu tak perlu dilarang, bila dilarang buat televisi misalnya, ia akan merugikan masyarakat,” kata Andreas, dikutip Tirto, Senin, 13 Mei 2024.
Nah, dari sisi lain, ada pandangan berbeda dari Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin. Dia bilang, ada usul buat ngelarang penayangan jurnalisme investigasi karena takutnya pengaruhnya ke opini publik soal proses hukum. Hasanuddin bilang, DPR nggak punya niatan buat batasin kebebasan pers, dan masih ada pembahasan soal pasal-pasal RUU Penyiaran. “Jangan sampai proses hukum yang dilakukan aparat terpengaruh konten jurnalisme investigasi,” kata Hasanuddin, dikutip Tirto, Senin, 13 Mei 2024.
Dia juga ngerasa kalo proses hukum nggak boleh keganggu sama konten jurnalistik investigasi. Tapi, Andreas punya pandangan beda. Dia bilang, jurnalis investigasi justru bisa bantu kerja aparat penegak hukum. Menurut dia, kerja jurnalis investigasi bisa saling melengkapi sama polisi atau jaksa.
Menurut Andreas, jurnalisme investigasi bisa bermacam-macam, ada yang dilakukan wartawan secara independen, ada juga yang jadi tindak lanjut dari penyelidikan polisi, dan ada juga yang menggunakan data besar. Buat dia, kerja jurnalis dan aparat hukum harusnya nyambung demi keadilan dan kebenaran. “Jadi kerja wartawan dan polisi, saya kira, saling melengkapi,” lanjut Andreas.
AJI Indonesia: RUU Pembungkaman Pers
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga gabung dalam penolakan terhadap RUU Penyiaran, Bro! Mereka gak setuju banget sama Pasal 50 B ayat (2) yang ngelarang media nayangin konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi. Menurut AJI, kalau beleid yang lagi dibahas DPR ini jadi, bisa-bisa pers kita bakal disensor.
Ketua Umum AJI Indonesia, Nani Afrida, bilang bahwa jurnalisme investigasi itu kayak puncak kejayaan jurnalistik. Bikin produk jurnalistik kayak gini juga nggak main-main, butuh waktu dan tenaga yang lumayan lama. “Pembungkaman pers. Itu sudah pasti agak aneh, ya, masa jurnalisme paling tinggi [yaitu] investigasi dilarang,” kata Nani, dikutip Tirto, Senin, 13 Mei 2024.
Nani, jurnalis asal Aceh, bilang bahwa bikin karya jurnalisme investigasi itu nggak bisa seenaknya. Banyak banget masyarakat yang nungguin hasil karya jurnalis yang satu ini.
Sejak awal, kata dia, AJI udah menolak dan protes keras soal pasal itu. Bagi AJI, pasal itu harus dihapus, soalnya gak ada alasan buat DPR bisa batasin kebebasan pers dalam melakukan jurnalis. “Kami anggap enggak ada dasarnya, kemarin ada pernyataan anggota dewan mengganggu penyelidikan aparat keamanan, enggak ada hubungannya,” tegas Nani.
Nani bilang, aparat hukum punya caranya sendiri dalam bekerja, begitu juga dengan wartawan yang kerjanya disiplin dan patuh sama UU Pers. Menurut AJI, kerja wartawan selama ini justru bantu proses penyidikan aparat hukum. “AJI melihat pasal ini jangan ada, itu mengganggu banget,” tutup Nani.
Dhandhy Laksono Mendorong Karya Investigatif
Dandhy Laksono, salah satu pendiri rumah produksi Watchdoc Documentary, ngaku kaget banget dan ngerasa sedih dengan pasal itu, Bro!
Dia khawatir, kalo pasal itu tetep ada di draf revisi, masyarakat bakal kehilangan kesempatan buat dapetin informasi yang udah diproses pake aturan jurnalistik yang bener.
“Sebagai filmmaker dan jurnalis, (saya) enggak peduli. Saya mungkin akan melanggar hukum apabila (RUU) ini disahkan. Makin dilarang, sebaiknya semua content creator [pembuat konten], semua jurnalis harus semakin membuat karya investigatif, pembangkangan sipil terhadap (RUU) ini,” ujar Dandhy, dikutip bbc, Selasa, 14 Mei 2024.
Bareng Andhy Panca Kurniawan, selama 14 tahun terakhir Dandhy bikin ratusan judul film dokumenter, misalnya "Sexy Killers" yang ngebahas bisnis batu bara dan "The Endgame" tentang polemik Tes Wawasan Kebangsaan KPK.
Film "Dirty Vote" yang dibikin Dandhy jadi perbincangan hangat di publik sejak pertama kali ditayangin di Youtube pada 11 Februari lalu. Film yang durasinya 117 menit ini nunjukin tiga pakar hukum tata negara yang cerita soal apa yang mereka sebut sebagai kecurangan dalam proses pemilihan presiden tahun 2024.