Remaja di Indonesia Rentan Gangguan Mental? Apa Alasannya?
Selasa, 20 Desember 2022 20:30
Reporter : Fitri Sekar Putri
Ilustrasi kesehatan mental remaja.
BANDUNG -- Universitas Gadjah Mada melakukan survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang pertama di Indonesia. I-NAMHS ini merupakan survei kesehatan jiwa yang mengukur prevalensi gangguan jiwa pada remaja usia 10-17 tahun di Indonesia. Terdapat 5.664 pasang remaja beserta pengasuhnya mengikuti I-NAMHS.
Survei tersebut dilakukan untuk mengukur prevalensi enam gangguan mental di kalangan remaja, seperti fobia sosial, gangguan kecemasan umum, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, ganggsuan stres pascatrauma (PTSD), dan gangguan efisit perhatian/hiperaktivitas (ADHD).
I-NAMHS juga mengukur risiko dan faktor protektif yang terkait dengan gangguan jiwa remaja seperti intimidasi, sekolah dan pendidikan, hubungan teman sebaya dan keluarga, perilaku seksual, penggunaan narkoba, dan pengalaman masa kecil yang merugikan. Ukuran penggunaan layanan juga disertakan.
Dari hasil survei yang telah dilakukan, hasilnya ialah satu dari tiga remaja Indonesia mengalami gangguan kesehatan jiwa dalam 12 bulan terakhir. Sedangkan satu dari dua puluh remaja Indonesia mengalami gangguan jiwa dalam 12 bulan terakhir.
Angka tersebut setara dengan masing-masing 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. Remaja didiagnosis gangguan jiwa sesuai dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi pedoman penegakan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia dan internasional.
Dalam laman resmi Universitas Gadjah Mada disebutkan jika gangguan jiwa yang paling banyak diderita remaja adalah gangguan kecemasan (kombinasi fobia sosial dan gangguan kecemasan umum) sebesar 3,7%, diikuti oleh gangguan depresi mayor sebanyak 1%, gangguan perilaku 0,9%, serta PTSD dan ADHD, yang keduanya berjumlah 0,5%.
Berdasarkan hasil survei, diketahui juga masih sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka. Tercatat hanya 2,6% remaja dengan masalah kesehatan mental yang mengakses layanan bantuan dalam 12 bulan terakhir, guna mencari bantuan.
I-NAMHS juga berkesempatan untuk mengumpulkan data terkait dampak Covid-19 terhadap kesehatan mental remaja. Hasilnya adalah dari 20 remaja dilaporkan sering merasa lebih tertekan, lebih cemas, lebih kesepian, atau lebih sulit berkonsentrasi dibandingkan sebelum pandemi Covid-19.
Guru Besar Fakultas Kedokteran-Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM), Siswanto Agus Wilopo menekankan pentingnya tersedianya data prevalensi skala nasional seperti I-NAMHS.
"Mengingat hampir 20% dari total penduduk Indonesia berusia 10-19 tahun. Populasi remaja memiliki peran penting dalam pembangunan Indonesia, terutama untuk mencapai bonus demografi dan mewujudkan visi Generasi Emas Indonesia 2024, dari hasil sensus 2020," katanya dalam laman resmi UGM.
“Selama ini data yang kami miliki sebelum I-NAMHS tidak mewakili Indonesia atau tidak berdasarkan diagnosa, sehingga perencanaan program dan advokasi kesehatan jiwa remaja tidak tepat sasaran. I-NAMHS dapat membantu Pemerintah dan pihak lain yang terkait dengan kesehatan mental remaja dalam merancang program dan advokasi yang lebih baik untuk generasi muda kita,” ujar Siswanto.