Psikolog: Persekusi Bukan Cara yang Tepat Atasi Pelecehan
Jumat, 16 Desember 2022 19:13
Reporter : Fitri Sekar Putri
Ilustrasi pelecehan seksual.
BANDUNG -- Usai tindakan persekusi kepada terduga pelaku pelecehan seksual di Universitas Gunadarma pada Senin, 12 Desember 2022 lalu, banyak pihak yang mengecam dan menyayangkan aksi main hakim sendiri tersebut.
Stephanie Reihana, seorang psikolog mengatakan terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang melakukan pelecehan seksual. Bisa jadi karena sebelumnya pelaku adalah korban atau karena gangguan psikologis.
"Jika dari kajian pelaku umumnya punya predisposisi, punya kecenderungan karena pelaku pernah menjadi korban. Selama pelaku menjadi korban dan tidak mendapat penanganan yang tepat ada kemungkinan ia akan membalaskan dendamnya," ujar Stephanie pada Rabu, 14 Desember 2022.
Lebih lanjut Stephanie menjelaskan ada faktor gangguan psikologis yang dapat mendorong seseorang melakukan pelecehan seksual.
"Biasanya karena ada gangguan psikologis. Ada juga yang mungkin karena memiliki penyimpangan seksual dan tidak mendapat penanganan tepat sehingga dia bisa menjadi salah dalam penyaluran seksualnya," tutur Stephanie.
Stephanie menilai bahwa persekusi yang diberikan kepada terduga pelaku pelecehan seksual di Universitas Gunadarma bukanlah langkah yang tepat. Sebab bagaimana tindakan main hakim sendiri tidak dibenarkan dalam aturan yang legal. Sehingga penyelesaian dalam kasus pelecehan ini seharusnya ditempuh lewat jalur hukum.
"Karena bagaimana pun kita hidup di masyarakat yang berhukum gitu. Sehingga secara psikologis langkah hukum yang memang legal dan benar akan memberikan kepercayaan di tengah mayarakat," ucap Stephanie.
Dia menyampaikan penyelesaian kasus ini bukan hanya harus diselesaikan lewat jalur hukum. Tetapi terduga pelaku pelecehan seksual pun harus mendapatkan penanganan terhadap gangguan perilakunya.
"Selain sanksi hukum, pelaku juga harus mendapatkan penangan atas masalah psikologis yang mereka alami. Sehingga bukan hanya mendapatkan hukuman tetapi juga diselesaikan akar masalahnya agar pelaku tidak melakukan pelecehan lagi," tutur Stephanie.
Stephanie juga menanggapi kejadian terduga pelaku yang dilucuti pakaiannya, diikat di pohon, bahkan dicekoki air seni justru akan mendatangkan masalah baru bagi terduga pelaku.
"Jelas de humanisasi gitu ya jadi kalau ada perilaku seperti dipermalukan di depan umum," ujar Stephanie.
"De humanisasi hanya menciptakan dendam, marah, malu yang muncul sebagai efek psikologisnya. Diharapkan sebenarnya terduga pelaku akan jera, justru malah akan menambahkan isu psikologis yang lain. Masalah psikologisnya bukan turun atau hilang, tapi bertambah," tambahnya.
Selain menempuh lewat jalur hukum yang legal, menurut Stephanie langkah yang tepat untuk diberikan kepada pelaku adalah melakukan pembinaan secara komperhensif agar masalah yang ada dapat terselesaikan hingga akarnya.
"Sanksi hukum itu bukan hanya memberikan hukuman. Tapi di dalam kurungan tahanan juga diberikan binaan," tambahnya.
Pelaku pelecehan juga perlu dibatasi wilayah interaksinya, di mana hal tersebut bisa membuat kesempatan untuk melakukan tindakan yang kurang pantas menjadi berkurang.
"Contoh dia melakukan pelecehan seksualnya di wilayah pendidikan, maka harusnya dibatasi gitu ya untuk bisa berinteraksi atau banyak terlibat di lingkungan tersebut," tutur Stephanie.
"Nah termasuk dia tidak diperbolehkan untuk banyak berinteraksi dengan calon korban. Jadi ada pembatasan sosial. Harus di monitor jangan sampai dia akan terpicu kembali melakukan pelecehan seksual," tutup Stephanie.