Penyebab dan Pencegahan Bullying Menurut Psikolog
Minggu, 20 November 2022 04:13
Reporter : Siti Ninu Nugraha
Kasus bullying kembali terjadi di kota Bandung, tepatnya di SMP Baiturrahman, Ujungberung. (Ilustrasi Freepik)
BANDUNG -- Kasus bullying kembali terjadi di kota kembang baru-baru ini, tepatnya di SMP Plus Baiturrahman yang terletak di Ujungberung, Bandung. Tindakan perundungan ini viral usai sebuah thread di Twitter pada Jumat, 18 November 2022 menunjukkan adanya video seorang pelajar yang di-bully oleh teman-teman sekelasnya.
Siswa tersebut terlihat memakai helm, lalu dia dikelilingi oleh beberapa teman-temannya. Teman-teman sekelasnya tersebut nampak melakukan penindasan, bahkan ada yang memukulnya hingga terjatuh.
Sontak saja kasus ini mendapatkan banyak perhatian dari berbagai pihak.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung, Dr.Ihsana Sabriani Borualogo, mengatakan kepada Digo bahwa ada banyak sebab bisa terjadinya kasus bullying. Hal yang paling mendasar berkaitan dengan bagaimana anak-anak menganggap bahwa perilaku kekerasan seolah hal yang wajar.
“Kalau perundungan ini menurut saya diawali dari mulainya mungkin dari bullying verbal. Kemudian tidak ditangani atau tidak dihentikan lalu meningkat menjadi bullying fisik,” ujar Ihsana saat dihubungi Sabtu, 19 November 2022.
Menurutnya, anak-anak pelaku bullying harus diberikan edukasi bahwa tidakan agresif itu tidak boleh dilakukan. Kebanyakan kasus bullying fisik diawali dari bullying verbal.
Ketika anak mendapatkan perundungan secara verbal di sekolah kemudian tidak ditindaklanjuti, anak akan merasa bahwa ia tidak diperhatikan. Perlakuan tersebut jika dibiarkan bisa menjadi semakin meningkat intensitasnya, durasinya, dan juga tingkat keseriusannya.
Lebih lanjut, dia juga menyatakan bahwa pola asuh memiliki peranan penting pula dalam munculnya perilaku anak yang suka mem-bully.
“Pola asuh dari orang tua jelas berpengaruh, secara umum dapat kita katakan bahwa orang tua yang menggunakan kekerasan dalam pengasuhan terhadap anak menyebabkan anak-anak juga menyerap hal tersebut,” lanjutnya.
Anak akan menganggap bahwa kekerasan tersebut seolah-olah sebagai suatu hal yang biasa. Jadi, jika dibiasakan pola asuh dengan kekerasan anak akan berpikir bahwa kekerasan atau tindakan agresif adalah hal yang wajar.
Dia mengungkapkan akan ada banyak sekali dampak bagi korban bullying. Khususnya untuk dampak psikologis, kasus bullying ini bisa menimbulkan trauma bagi korban.
Ihsana mengambil contoh kasus Amanda Todd yang mengalami cyber bullying. Lalu dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
“Pada kasus Amanda Todd yang sering mengalami cyber bullying sehingga kemudian ia bunuh diri. Pada kasus-kasus ekstrim bisa terjadi seperti itu dan juga bisa terjadi memiliki potensi menjadi pelaku. Jadi itu harus diperhatikan betul,” ujarnya.
Kemudian berbicara soal efek jera bagi pelaku, dia menjelaskan bahwa tidak hanya sekadar hukuman tapi juga diberikan edukasi. Hal itu dilakukan karena bisa jadi anak-anak pelaku perundungan berasal dari keluarga dengan orang tua yang menggunakan kekerasan.
“Sebetulnya penanganan bullying tidak bisa hanya padaanak-anaknya saja atau pelakunya saja, tetapi harus menyangkut sekolah, orang tua, dan siswa. Siswa disini adalah pelaku, korban, maupun yang nonton karena kan biasanya bullying itu ada yang nontonnya dan ada yang merekam juga,” lanjutnya.
Dia juga menekankan perlu adanya dukungan dari berbagai pihak agar tindakan bullying ini tidak lagi terjadi.
“Kita perlu melakukan support system antara rumah, sekolah, dan siswa jadi perlu diberi edukasi. Aturan sekolah itu harus ditegaskan agar tidak terjadi bullying. Perlu dilakukan upaya komprehensif tidak hanya di sekolah saja, jika di sekolah semua komponen sekolah harus terlibat. Tetapi yang lebih diutamakan adalah mencegah hal itu terjadi,” tutupnya.