Pakar Politik: KUHP Jadi Tameng Hukum Penguasa
Jumat, 09 Desember 2022 01:57
Reporter : Fitri Sekar Putri
Ilustrasi RKUHP. Dok digo id.
BANDUNG -- Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disahkan pada Selasa, 06 Desember 2022. Disahkannya rancangan Undang-Undang tersebut, rupanya menuai polemik di masyarakat umum. Banyak yang merasa aspirasi rakyat hanya menjadi angin lalu bagi para pemegang kekuasaan.
Berapa pasal menjadi sorotan dan dianggap sangat merugikan warga negara, salah satunya ialah dalam hak kebebasan berpendapat dan campur tangan pemerintah terhadap privasi warganya.
Peneliti Ahli Utama Bandan Riset dan Inovasi Nasional, R. Siti Zuhro turut mempertanyakan sebenarnya untuk kepentingan siapa hukum dibuat jika rakyat pun menolak UU KUHP yang baru ini.
"Publik akan menyorot ke para elite yang merumuskan UU KUHP (DPR dan pemerintah). Mereka ini mewakili siapa sebenarnya bila rakyat resisten terhadap Undang-Undang KUHP yang baru ini," ucap Siti.
Lebih lanjut, Siti menegaskan jika memang hukum ini dibuat untuk kepentingan penegakan keadilan, seharusnya tidak menimbulkan polemik, perbebatan, bahkan perlawanan publik akademis, aktivis atau pegiat hukum dan demokrasi.
Salah satu pasal yang disoroti ialah Pasal 241 menyebut orang yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah diancam penjara maksimal empat tahun.
Pasal tersebut dapat dijadikan sebagai tameng para penguasa untuk rakyat yang ingin mengkritiki kinerja buruk yang dilakukan pemerintah.
Lalu ada pasal yang dianggap mengusik privasi warga negaranya, yakni pasal 419 yang mengatur soal kohabitasi atau samenleven yang disebutkan bahwa, "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."
Siti pun angkat bicara terkait pasal-pasal yang menjadi polemik di masyarakat. Ia menyebutkan jika UU ini tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang disepakati Indonesia pada tahun 1998.
"Undang-Undang tidak hanya tidak selaras dengan aspirasi rakyat, tapi juga tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang disepakati Indonesia sejak tahun 1998," tutur Siti.
Siti menerangkan jika kini pemerintah perlahan mulai condong terhadap sistem otoriter.
"Dalam sistem otoritarian urusan privat acapkali diintervensi rezim. Tapi dalam sistem demokrasi, mengedepankan HAM (Hak Asasi Manusia) dan rezim tidak mengintervensi atau mengintruksi urusan privat warga negara. Hak-hak warga negara dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi atau UU," jelas Siti.
Lebih lanjut Siti menegaskan jika Undang-Undang itu sarat dengan kepentingan politik. Maka jika menguntungkan secara politik, Undang-Undang akan segera disahkan.
"DPR tidak menggubris lagi aspirasi atau suara rakyat. DPR tak efektif lagi mewakili rakyat. Sehingga nasib rakyat harus dipikirkan oleh rakyat sendiri. Karena itu rakyat tak perlu berharap kepada DPR," ujar Siti.