Kontradiksi Putusan MK RI Perkara No 90 Menurut Pakar Hukum Indonesia, Soal Minimum Umur Capres dan Cawapres 2024
Kamis, 26 Oktober 2023 13:40
Reporter : Tim Digo.id
Foto Eksklusif
Jakarta, DIGI.ID -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat usia calon presiden dan wakil presiden telah menjadi topik perdebatan yang mencuat berbagai pandangan. Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, menilai bahwa putusan MK dalam hal ini tidak sah. Alasannya adalah Ketua MK, Anwar Usman, tidak mundur dari pemeriksaan dan penentuan putusan dalam perkara ini, yang menimbulkan isu benturan kepentingan karena ia adalah paman dari Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.
Menko Polhukam Mahfud MD juga senada mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat usia pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Bakal calon wakil presiden yang akan mendampingi Ganjar Pranowo dalam Pilpres 2024 ini menyatakan bahwa menurutnya, putusan MK tersebut memiliki kesalahan mendasar.
"Saya merasa tidak suka dengan putusan tersebut karena sebelumnya saya sudah mengungkapkan pandangan bahwa putusan tersebut tidak tepat. Menurut saya, putusan itu memiliki kesalahan mendasar," kata Mahfud dalam sebuah wawancara eksklusif yang disiarkan di kanal YouTube Mata Najwa pada Kamis, 19 Oktober.
Di sisi lain, Asst. Prof. Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H., M.H. yang juga seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Metro, membahas aspek lain terkait putusan MK ini. Ia menyoroti pentingnya penggunaan hermeneutika hukum, yaitu interpretasi aturan hukum sebagai dasar pertimbangan dalam memahami peristiwa dan fakta hukum. Hermeneutika hukum adalah alat penting yang membantu hakim dalam menjalankan tugasnya dalam peradilan.
“Banyak pengamat hukum tampaknya kurang berhati-hati dalam menganalisis putusan hakim. Namun, dalam konteks ini, seorang hakim berhak untuk menyampaikan pandangan hukum yang baru, asalkan tidak terlibat secara langsung dalam proses hukum dan tidak terlibat dalam tindakan KKN. Dalam hal ini, mereka memiliki kebebasan untuk berpendapat.” Ucap Edi Ribut.
“Maka dari itu, saya katakan bahwa, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sah dan berkekuatan hukum tetap dan mengikat.” tambah Edi Ribut saat di wawancarai.
Apakah Denny Indrayana, yang menilai bahwa putusan MK dalam hal ini tidak sah. Dengan alasan Ketua MK, Anwar Usman, tidak mundur dari pemeriksaan dan penentuan putusan dalam perkara ini?
“Tentu saja dalam teori pembuktian yang bebas atau conviction reasons once itu membantah pernyataan Denny Indrayana, yang mana konsep teori pembuktian yang digunakan oleh hakim MK RI dalam Perkara No. 90/PUU/XXI/2023 melibatkan 9 hakim. Dalam konteks ini, terdapat 4 hakim dengan Desseting Opinion dan 5 hakim dengan Concurring Opinion. Hakim di sini memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinan mereka secara bebas tanpa terikat oleh undang-undang (UU). Namun, hakim wajib menjelaskan dan mempertanggungjawabkan bagaimana mereka mencapai keyakinan mereka berdasarkan pengetahuan dan logika hukum mereka yang tidak terikat oleh bukti yang ditetapkan oleh UU. Dalam hal ini, hakim dapat menggunakan bukti lain di luar ketentuan UU.
Juga tertulis dalam Pasal 5 Ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bahwa hakim dan hakim konstitusi diwajibkan untuk memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat, dan untuk mengikuti dan memahami nilai-nilai yang di sampaikan pada pasal 1 sampai dengan Pasal 9 Peraturan MK No. Tahun 2023 tentang Kode Etik dan Perilaku.
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi adalah panduan moral dan etika bagi setiap hakim konstitusi. Prinsip-prinsip dalam Kode Etik yang ini meliputi:
1. Prinsip Ketidakberpihakan: Hakim konstitusi tidak boleh memiliki prasangka terhadap salah satu pihak atau memiliki kepentingan langsung terhadap putusan.
2. Prinsip Kepantasan dan Kesopanan: Hakim konstitusi tidak boleh membiarkan keluarga dan relasi sosialnya mempengaruhi pengambilan keputusan.
Sanksi diberlakukan bagi hakim konstitusi yang melanggar prinsip-prinsip Kode Etik ini sesuai dengan Pasal 40 sampai dengan Pasal 48 Peraturan MK No. 1 Tahun 2023 dan Pasal 77 Peraturan MK No. 2 Tahun 2021.”
“Suka tidak suka, seperti yang di katakan Mahfud MD putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat”
Putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Putusan MK bersifat erga omnes, artinya berlaku untuk semua pihak yang terlibat dalam sengketa. Dalam hal ada putusan hakim konstitusi yang melanggar Kode Etik, berdasarkan Pasal 24c ayat 1 UU No. 45, putusannya bersifat final dan mengikat untuk menguji UU terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara, dan memutuskan pembubaran partai politik serta perselisihan hasil pemilihan umum. Oleh karena itu, putusan MK harus dihormati dan dilaksanakan oleh semua pihak, meskipun terjadi kasus korupsi yudisial atau pelanggaran Kode Etik oleh hakim MK, karena putusan hakim harus dianggap benar, final, dan mengikat.
Tertuang dalam pasal 37 UUD 1945, Proses perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus memenuhi ketentuan yang benar, dan usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diajukan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya, proses tahapan pembentukan UU melibatkan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. (uc/khn).