BKSAP DPR: Parlemen Rumuskan Kebijakan Perubahan Iklim
Jumat, 07 Oktober 2022 09:28
Reporter : Antara
(Foto: ant)
Jakarta - Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Putu Supadma Rudana mengatakan bahwa parlemen memiliki peran yang krusial dalam perumusan kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim.
Hal itu disampaikan dalam Sesi Kedua Sidang
the 8th G20 Parliamentary Speakers Summit (P20) P20, di Gedung DPR, Kompleks
Senayan, Kamis 06
Oktober 2022.
"Semua itu dilakukan melalui tiga fungsi
utamanya, yaitu legislatif, penganggaran, dan pengawasan," kata Putu dalam
keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Jumat.
Dalam konteks tersebut, kata Putu, parlemen
harus memastikan bahwa undang-undang atau tindakan tentang perubahan iklim
bersifat inklusif dan sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang
menyeimbangkan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Untuk mencapainya, Putu berpandangan bahwa
anggota parlemen harus mengintegrasikan pendekatan berbasis hak asasi manusia
(HAM) terhadap perubahan iklim.
"Mengarusutamakan dan meningkatkan
visibilitas prinsip-prinsip hak asasi manusia nondiskriminasi, kesetaraan,
akuntabilitas, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan," tuturnya.
Selain mendukung resolusi dan deklarasi tentang
aksi iklim di forum internasional, seperti Interparliamentary Union (IPU), Putu
mengatakan bahwa filosofi tersebut selalu dianjurkan karena memiliki manfaat
sosial, ekonomi, dan lingkungan yang signifikan bagi rakyat.
“Salah satu strateginya adalah memastikan
partisipasi dan kontribusi manusia dalam aksi iklim yang tidak hanya akan
menguntungkan planet ini tetapi ekonomi,” kata Putu.
Ia mengatakan masyarakat harus didorong untuk
berpartisipasi dan berkontribusi dalam kegiatan terkait aksi iklim. Ia lantas
mengambil contoh kearifan lokal Bali, yaitu filosofi Tri Hita Karana yang
selalu dijunjung tinggi.
Filosofi tersebut, kata Putu, mendefinisikan
hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan alam, serta manusia dan sesama
manusia. Di mana mengartikan bahwa Tuhan menciptakan alam untuk dijaga,
dihormati, dilindungi, dan dilestarikan.
Kemudian, lanjut Putu, di Bali ada Hari Raya
Nyepi sebagai bagian implementasi filosofi tradisional, yang mengharuskan
masyarakat mematikan lampu dan tidak menggunakan peralatan elektronik selama 24
jam.
"Kami memiliki Subak. Pendekatan-pendekatan
tersebut dapat dijadikan pedoman bagi kita untuk melakukan mitigasi perubahan
iklim,” katanya.
Namun demikian, Putu mengakui bahwa tidak ada
negara yang dapat menghadapi krisis iklim dengan sendirinya. Makanya, ia
memandang prinsip penuh rasa tanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan
masing-masing masih harus diterapkan secara penuh dan efektif. (ant)